Malam itu adalah malam dimana ketika seorang pelajar libur. Malam yang sudah direncanakan di grup BBM oleh anak-anak yang melabeli komunitasnya dengan sebutan Gang Perintis Slasher (GPS).

Banyak dari mereka yang melontarkan kata-kata “kapan mudik?”, “ayo main bareng”, “ayo kumpul”. Sepertinya memang mereka sudah terlalu kangen satu sama lain. Kangen bercanda bersama, minum kopi, menghembuskan nafas yang diselimuti asap nikotin, berbagi cerita mulai dari lawakan receh, bertukar isi kepala tentang kerasnya hidup, tentang rumitnya dunia pendidikan, obrolan cinta, bahkan bahasa tentang kesejahteraan rakyat.

Itulah kita. Kita yang selalu menyempatkan waktu bersama.

Meski terkadang ada satu diantara kita yang tak habis-habisnya menjahili yang lain, kita tak pernah memasukan kejahilan itu ke hati kita.

Namun, di malam itu semunya berubah. Keadaan tak seperti dulu lagi. Kita, yang biasanya baru datang berkumpul langsung memegang satu batang “barang berbahaya” di tangan kiri dan kumpulan kartu poker di tangan kanan, sudah digantikan dengan alat yang biasa dijadikan sebagai simbol kelas menengah atas.

Percakapan serta rasa rindu seperti tak dilepaskan ketika kita berkumpul. “Bullshit”, itulah kata pertamaku ketika menyadari hal ini.

Dia yang dulu teramat sangat jahil sedang duduk di pojokan ruang tamu markas besar (mabes) GPS. Bercanda bersama temanmu yang jauh di sana. Tapi, mengabaikan temannya yang dekat disini.